Tawakal sendiri sering diartikan sebagai upaya penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah setelah seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh. Hanya saja seiring berjalannya waktu dan perubahan dinamika sosial, konsep ini mulai dipahami dengan serampangan dan sempit, sehingga tidak lagi menjadi konsep yang familiar dengan masyarakat terkini, khususnya mereka yang hidup di perkotaan.
Di media sosial, kita sering menjumpai ungkapan seperti “yang penting berusaha, sisanya serahkan pada Yang Maha Kuasa”, atau ungkapan “ikhtiar maksimal, tawakal total.” Ungkapan-ungkapan tersebut meski terdengar religius, justru mengerdilkan makna tawakal menjadi sekadar ritual penutup setelah berusaha. Padahal tawakal seharusnya dipahami sebagai kerangka berpikir (mindset) yang menyertai seluruh proses usaha, mulai dari awal hingga akhir.
Contoh: seorang karyawan harus bekerja dengan profesional sembari mempersiapkan diri menghadapi berbagai kemungkinan dalam kariernya, atau bekerja dengan profesional sembari berusaha untuk menjaga keseimbangan mental di tengah tekanan pekerjaan, semua ini merupakan manifestasi nyata dari tawakal dalam bentuknya yang paling kontekstual.
Adapun tawakal dalam perspektif yang lebih tekstual kemampuan untuk terus berusaha meski hasil akhir tidak sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Ini selaras dengan konsep modern seperti locus of control dalam psikologi, di mana seseorang berfokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan dan melepaskan kecemasan terhadap hal-hal di luar kendalinya.
Nah, beberapa penjelasan di atas pada hakikatnya sejalan dengan spirit fundamental dalam Islam ketika membahas tentang tawakal. Allah swt dalam Al-Qur’an telah menegaskan bahwa tawakal terjadi setelah adanya tekad yang bulat dan kesungguhan ikhtiar. Hal ini sebagaimana tercermin dalam salah satu firman-Nya, yaitu:
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya, “Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS Ali ‘Imran, [3]: 159).Ayat ini menegaskan perihal dua tahapan yang tidak bisa dipisahkan, yaitu: (1) azm (tekad) yang mencakup perencanaan matang dan komitmen kuat dalam berikhtiar; dan (2) tawakal yang merupakan penyerahan diri setelah segala upaya dilakukan. Dalam konteks kekinian, azm dapat dimaknai sebagai profesionalitas kerja, perencanaan yang matang, dan pengembangan kompetensi, sementara tawakal merupakan sikap mental yang memungkinkan seseorang tetap stabil secara emosional meski menghadapi ketidakpastian.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa meski tawakal dan usaha merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, namun keduanya memiliki dimensi yang berbeda. Usaha misalnya, ia merupakan manifestasi dari kerja fisik dan rasional manusia yang berakar pada anggota badan, dan keterampilan yang dapat diukur secara nyata. Sementara tawakal tawakal adalah dimensi batin yang bersumber dari hati, ia menata cara pandang manusia, menenangkan kegelisahan ketika menimpanya, dan menjaga keseimbangan jiwa ketika hasil tidak sejalan dengan rencana. Penjelasan ini sebagaimana dipaparkan oleh Syekh Bilal Ahmad ar-Rifa’i, dalam salah satu karyanya mengatakan:
اَلتَّوَكُّلُ عَمَلُ الْقَلْبِ وَالْأَسْبَابُ عَمَلُ الْجَوَارِحِ. فَالْجَوَارِحُ تَعْمَلُ وَالْقُلُوْبُ تَتَوَكَّلُ
Artinya, “Tawakal adalah perbuatan hati, sedangkan mencari sebab adalah perbuatan anggota badan. Anggota badan bekerja, sementara hati bertawakal,” (Tafrijul Ham bi Syarhi Fawaid Hatimil Asham, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2011 M], halaman 118).Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tawakal tidak bisa dipisahkan dari ikhtiar. Keduanya berjalan beriringan dalam satu arah yang sama. Seseorang tidak bisa disebut bertawakal apabila ia sama sekali tidak berusaha, sebagaimana tidak sempurna pula usaha seseorang jika di dalamnya tidak disertai dengan tawakal.
Orang yang enggan berikhtiar kemudian berdalih tawakal, sejatinya ia belum memahami makna tawakal itu sendiri. Sebab tawakal bukanlah pembenaran atas sikap malas ataupun menyerah sebelum berjuang, melainkan penegasan bahwa manusia wajib berusaha sekuat kemampuan sembari menyadari bahwa hasil akhirnya tetap berada di dalam kuasa Allah SWT.
Bahkan, Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi tidak segan melabeli orang-orang yang mengatakan bahwa dirinya bertawakal tetapi tidak melakukan ikhtiar apa-apa sebagai pembohong dan pemalas yang bersembunyi di balik kata tawakal. Berkaitan dengan hal ini, ia mengatakan dalam salah satu kitabnya,
إِيَّاكَ أَنْ تَظُنَّ أَنَّ التَّوَكُّلَ يَعْنِي أَنْ تَتْرُكَ الْجَوَارِحَ بِلاَ عَمَلٍ، لاَ، فَهَذَا هُوَ التَّوَاكُلُ أَوِ الْكَسْلُ، إِنَّهُ التَّوَكُّلُ الْكَاذِبُ
Artinya, “Hati-hatilah engkau menyangka bahwa tawakal berarti meninggalkan anggota badan tanpa bekerja. Tidak! Yang demikian itu adalah tawaakul (pura-pura tawakal) atau alas. Itu adalah tawakal yang bohong.” (Tafsir al-Khawathir lis Sya’rawi, [Kairo: Dar Taufiqiyah lit Turats, t.t], jilid III, halaman 184).Lebih lanjut, Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi menjelaskan bahwa bukti dari adanya kebohongan model tawakal seperti itu adalah hanya terjadi untuk sesuatu yang sulit dan membutuhkan usaha keras saja, sementara untuk hal-hal yang mudah, maka mereka tidak akan menerapkan tawakal versi mereka itu.
Syekh Mutawalli kemudian memberikan contoh dari pendapat di atas, bahwa orang yang malas bekerja akan berkata, “Aku bertawakal kepada Allah agar diberi rezeki,” namun ketika merasa lapar, ia tetap berusaha mencari makanan dan menyuapkan ke mulutnya sendiri.
Padahal seandainya ia benar-benar konsisten dengan konsep tawakal versi yang ia klaim, tentu ia akan menunggu makanan itu datang dan masuk ke mulutnya tanpa perlu bergerak. Namun kenyataannya, tidak ada seorang pun yang mau menunggu seperti itu. Maka di situlah bukti bahwa klaim tawakalnya hanyalah dalih untuk menutupi sikap malas dan kebohongan. Maka Syekh Mutawalli berkata:
فَالتَّوَكُّلُ مَعْنَاهُ: تَسْلِيْمُكَ زِمَامَ أُمُوْرِكَ إِلىَ الْحَقِّ ثِقَةً بِحُسْنِ تَدْبِيْرِهِ. وَمِنْ تَدْبِيْرِهِ أَنْ أَعْطَاكَ الْأَسْبَابَ فَلاَ تَرُدُّ يَدَ اللهِ الْمَمْدُوْدَةَ بِالْأَسْبَابِ ثُمَّ تَقُوْلُ لَهُ: اعْمَلْ لِي يَارَبِّ
Artinya, “Maka makna tawakal adalah menyerahkan kendali urusanmu kepada Allah karena percaya pada baiknya pengaturan-Nya. Dan termasuk bagian dari pengaturan-Nya ialah bahwa Dia telah memberimu sebab-sebab (usaha/ikhtiar). Maka janganlah kau tolak pemberian Allah yang dihamparkan dengan sebab-sebab, kemudian kau berkata kepada-Nya, ‘Bekerjalah untukku, wahai Rabb!’” (Syekh Sya’rawi, III/185).
Dari beberapa penjelasan di atas, kita dapat menemukan pemahaman tentang konsep tawakal yang lebih personal dan aplikatif.
Tawakal dalam narasi kontemporer tidak lagi sekadar doktrin teologis, tetapi sudah berevolusi menjadi strategi hidup yang memungkinkan seseorang untuk tetap progresif dan produktif. Dan secara garis besar, generasi muda hingga para pekerja saat ini sebetulnya sudah mempraktikkan semangat tawakal meski dengan bahasa yang berbeda.
Dalam konteks kehidupan urban modern, tawakal menemukan bentuk barunya yang lebih personal dan aplikatif. Generasi muda masa kini secara intuitif telah mempraktikkan semangat tawakal meski dengan bahasa yang berbeda.
Misal ketika seorang karyawan tetap produktif meski situasi kantor penuh ketidakpastian, itulah wujud kontemporer dari pemahaman konsep tawakal. Atau misal fenomena work-life balance yang banyak diperbincangkan anak muda, sebenarnya sudah menyimpan esensi tawakal di dalamnya.
Kemampuan untuk memberikan yang terbaik di tempat kerja tanpa membawa pulang rasa cemas berlebihan, atau sikap tetap tenang menghadapi tekanan deadline sembari terus berusaha maksimal, semua ini merupakan bentuk tawakal dalam konteks zaman sekarang. Wallahu a’lam bisshawab.
Sumber: nu.or.id

0 Komentar